Oleh : Ustadz Armen Halim naro, Lc
Rahimahullah
Kepada yang tercinta
Bundaku yang ku sayang
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan
kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu
tengah menuju surga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan
keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat.
Amin…
Ibu… aku terima suratmu yang
engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku
telah mengejanya kata demi kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.
Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak shalat
Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan
adzan pertama telah dikumandangkan?! Sebenarnyalah surat yang engkau tulis
tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya
diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat
yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh
ayam. Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan… bagaikan
awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu…
Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!!
Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan
ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras ketika
membaca surat itu menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis itu
adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri!!
Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal
yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering
menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat
sengsaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru
dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula
dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu karang atau sebuah
drama yang ibu perankan?! Akan tetapi dia adalah sebuah kenyataan…
Bunda yang kusayangi…
Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang
engkau telah sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau ditinggal
ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana
tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak
di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah
ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual
bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah dicatat dulu.
Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat melunasinya.
Ibu… aku masih ingat ketika
kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai
atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan
keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung
kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih
ingat, engkau sengaja mengambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak,
ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.
Ibu… maafkanlah anakmu ini,
aku tahu bahwa semenjak engkau gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek
sampai engkau telah tua sekarang, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.
Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu.
Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali ketika kami anak-anakmu
datang ziarah kepadamu. Selain dari itu tidak ada kebahagiaan, hari-harimu
adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya pengorbanan.
Ibu…
Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang
istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang engkau telah
sanjung pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu padaku, “Ambilah ia
sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak
mulia, punya hasab dan nasab!.”
Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu. Keberadaan dia
sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan
sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.
Ibu… aku tidak menyalahkan
wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan kewajibannya sebagai
istri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu, sudah berapa kali ia
memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari yang lalu ia telah
buatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu mengantarkannya,
hingga makanan itu telah menjadi basi…
Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa
namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di
mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk
kebahagiaan rumah tangganya.
Ibu…
Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka
seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil
mendapatkan boneka atau orang-orangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah
membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada
padaku.. anakmu ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami,
perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku
tidak hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.
Ibu… perkawinanku membuatku
masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang
hanya ada aku, istri dan anakku!! Bagaimana tidak, istri yang baik dan
anak-anak yang lucu-lucu!! Maafkan aku Ibu… aku merasa dunia hanya milik kami,
aku tidak peduli dengan keadaan orang lain, yang penting bagiku adalah keadaan
mereka.
Ibu…
Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah
menyia-nyiakanmu!! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan
untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang
tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak
dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Itulah yang terjadi pada diriku, wahai Ibu!! Aku seperti orang
linglung ketika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika
melihat anakku diare. Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu
atau pada ayah!!
Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena bimbingan
agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti
kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan karena
baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan
pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.
Setelah suratmu datang, baru aku mengerti!! Karena selama ini
hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam
seperti semua permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini.
Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang
ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita. Di
matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang paling
beruntung.
Bagaimana tidak!! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah
matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih
membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari
uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas dia
berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua
wanita yang saling berebut perhatian seorang laik-laki. Laki-laki sebagai anak
dari ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang…
Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku. Satu tetesan air matamu
adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka
lagi!! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!!
Aku takut Ibu… aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah sekarang
bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku ridho Allah, sekiranya
engkau tidak meridhoiku. Apa gunanya semua kebaikan sekiranya di matamu aku
tidak punya kebaikan!! Bukankah ridho Allah tergantung dengan ridhomu dan
sebaliknya bukankah kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!! Tahukah
engkau Ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka
Allah!! Apalah jadinya hidup jika hidup penuh dengan murka dan laknat serta
jauh dari berkah dan nikmat.
Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang
semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu!
Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa
segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau
engkau perbuat apa?!
Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Seakalipun -wahai Bunda- aku
memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan sebanyak
kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pastikan wahai Bunda
tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akherat sekalipun sesaat. Siapa
pula yang tahan dengan azab neraka, wahai Bunda!!
Ibu maafkan anakmu!! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan
pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke
langit!! Maka, ampun, wahai Ibu!! Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas
dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!! Kalaulah itu yang terjadi, do’a itu
tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku!! Tentu
kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar
petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan,
tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa
sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!
Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!! maka, tidak ada lagi
gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak
pergaulan.
Ibu dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang
bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat
bayangkan bagaimana nasib bagi yang terkena kutuk di akherat, tentu lebih
sengsara.
Ibu… setelah membaca suratmu,
baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan
“jimat” dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku
baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin diriku dengannya.
Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku.
Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dahulu pernah
lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka
pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia
cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!! Badanku
yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa
badan yang tegap itu akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipenuhi
uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang itu akan menjadi keriput ditelan
oleh zaman.
Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain
kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan
diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa si raja hutan yang selalu
memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil
tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang
abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan
dipertanggungjawabkan.
Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu
di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit
munajatmu untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di
akherat.
Ibu… sesampainya suratku ini,
insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu,
setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu, bahagiamu adalah
bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu
adalah tangisku. Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan
aku berharap aku dapat membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.
Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah
tersenyum!! Ini kami, aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk
bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu.